CATATAN AWAL PERJALANAN
Oleh : Gentha Apritaura
Om Swastiastu,
Saya mengucapkan terima kasih atas
dimuatnya tulisan saya di MH edisi 80, Nopember 2010, dan terutama saya
mengucapkan terimaksaih pada sudara-saudara sedharma yang telah memberikan
respon baik melalui telepon ataupun email.
Diantara tanggapan yang saya terima,
banyak yang mengandung pertanyaan serupa, yaitu “mengapa memilih Hindu” dan
“bagaimana perjalanan ceritanya”. Maka saya menulis catatan ini sebagai
klarifikasi dan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Bagaimana
bisa memilih Hindu ?
Saya akan mulai dengan cerita ketika
saya masih merupakan gadis muda yang sangat sombong. Di Madura, pendidikan
agama Islam ditanamkan sejak anak-anak masih sangat kecil, konsisten, radikal
dan cenderung ketat. Selama beberapa tahun, tiap sore saya mengambil pendidikan
ekstra di salah satu sekolah Islam ternama berbasis Muhammadiyah yang
konservatif.
Pendidikan intensif seperti ini
ternyata telah membentuk mindset bahwa
saya adalah anak yang beruntung, lahir di keluarga Islam, otomatis Islam, kelak
pasti masuk surga (mesksipun pasti mampir juga di neraka). Keangkuhan ini
memang tidak pernah sampai terucap, namun harus saya akui bahwa hati ini telah
terkuasai olehnya.
Ketika saya kembali ke Surabaya
untuk kuliah, kesombongan itu kian menjadi. Contoh, tiap melihat nonik-nonik chinnese dengan salib di
kalungnya, saya mengutuk dalam hati,“cantik-cantik ntar masuk neraka
juga”. Melihat suster atau bhikku, bagi saya semua yang mereka lakukan
tidak berguna. Apalagi melihat orang Bali, saya yakin orang satu pulau ini
akan masuk neraka semua. Para orang besar, pahlawan, aktivis social,
jika kafir bagi saya mereka Cuma mayat hidup. Sebab, ada fiman Allah yang
menyatakan bahwaakan sia-sia semua
amalan seseorang jika tanpa disertai iman kepada Allah (saya lupa surah dan
ayatnya). Adakah pembelaan ? Tidak. Paman Rasulullah pun, Abu Thalib, yang
mati-matian menjaga keselamatan Rasulullah pada awal masa dakwanya, telah
dijanjikan masuk neraka karena tidak mengikuti seruan Rasulullah untuk beriman
kepada Allah. (Bagaimana dengan ibu, bapak dan kakeknya yang juga bukan sebagai
muslim? Bila konsekuen, jawabannya pasti “Ya”. (Sangat tegas tetapi lalu dimana
rasa terima kasih dan welas asih ? Red).
Sementara itu, di Surabaya saya
sempat terlibat dengan sisi lain kehidupan. Saya berbaur dalam komunitas waria,
pelacur, premanisme hingga perdagangan narkoba. Dunia hitam ternyata malah
membuka wawasan saya. Awal 2008 saya menarik diri dan mulai banyak merenung.
Dari pengalaman ini saya membuktikan, tidak semua orang baik itu Islam. Saya
tersedak ketika mendengar hati saya berkata, “kamu begitu sombong, Gentha. Tidakkah kamu malu ?”
Sontak, pikiran saya berkembang ke
mana-mana. Saya mulai mempertanyakan hakikat eksistensi kehidupan manusia, tentang nasib, tentang Tuhan yang
disebut Maha Pengasih, tentang hakikat Tuhan sebagai Rabb semesta alam, tentang
keadilan, tentang hakikat hati nurani yang konon tidak pernah berbohong,
tentang klaim kebenaran, dan seabrek pertanyaan lainnya. Namun, ada
yang paling mengusik,“bagaimana dengan
orang-orang baik yang tidak beragama Islam ? Bagaimana jika mereka
tidak terlahir di lingkungan Islam, tahu tentang eksistensi Islam, tapi sudah
merasa puas dengan agamanya sendiri sehingga mati dalam keadaan non Islam ?
Tuhan telah menciptakan dunia ini majemuk, kenapa hanya Islam saja yang
diselamatkan ? Lantas untuk apa mereka semua diciptakan ? Apa hanya untuk
memenuhi dunia lalu dibakar di Neraka pada akhirnya ? Tidakkah itu membuat
manusia menjadi sekedar mainan bagi Nya?”
Hidayah
Allah mendadak tampak rancu.
Makin hari, otak saya dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan tak terbendung. Hidayah Allah mendadak tampak rancu. Saya
seolah tidak dapat berharap pada Allah atas keselamatan jiwa saya dan
orang-orang di seluruh dunia. Mengharap hidayah Allah bagaikan berharap nama kita
muncul disisi dadu yang dilempar. Saya tahu, ada sebuah kisah tentang pelacur
Yahudi yang masuk surge karena member minum anjing yang kehausan. Kenapa
“jatah” pelacur Yahudi ini tidak diberikan saja kepada Abu Thalib, paman Nabi
yang setia ? Tidak tahu.
Saya kecewa. Tuhan ternyata tidak
searif yang saya bayangkan. Suatu hari saya terpaku melihat sebuah mobil dengan
ayat pendek dari Al-Quran tertulis besar di kaca belakangnya, “Dan barang
siapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima agamanya itu dan
diakhirat ia termasuk golongan yang menerima siksa yang pedih” (QS.
Ali-Imran:85). Saya yang selama sekian tahun merupakan anak emas para
ustadz-ustadzah di sekolah, baru menyadari perspektif lain dari ayat-ayat yang
telah saya baca sepanjang hidup, ternyata ayat-ayat ini tidak berorientasi pada
kenyataan. Bukankah tidak semua orang baik itu Islam dan tidak semua orang
Islam itu baik ?
Sejak saat itu, saya semakin yakin
ada yang tidak beres dengan pegangan hidup saya. Otak saya dipenuhi
pemberontakan dan kekecewaan. Akhirnya saya mengerti, saya butuh sosok
Tuhan yang mau ngomong semua orang, semua mahluk. Saya butuh sebuah ajaran
yang menghargai aspek kodrati manusia sebagai mahluk spiritual tanpa
mendiskriminasikannya lantaran ia kafir atau tidak beragama sekalipun. Saya
mulai mengunci diri. Saya tidak membiarkan sedikitpun ide dari luar
mengintervensi saya. Tidak sekalipun saya bercerita atau meminta pendapat orang
lain. Saya berusaha mencari jawaban dari sudut pandang tanpa keberpihakan. Saya
berusaha mencari pembenaran dalam agama Islam. Saya pelajari banyak ajaran
agama. Saya browsing internet tiap malam.
Iman saya
runtuh.
Sayang, pertengahan bulan Ramadhan
tahun 2008, saya tidak tertolong, Iman saya keburu runtuh sebelum saya sempat
mendapat jawaban yang saya cari. Saya menangis sejadi-jadinya hingga tidak
sanggup berdiri. Saya menjerit dalam hati, “Tuhan tolong aku!! Aku
tahu Engkau ada, tapi aku tidak tahu bagaimana memandang-Mu dengan benar!!
Berhari-hari saya berkutat dengan laptop sambil sesekali sesenggukan hingga
saya temukan “Agama Hindu-Wikipedia”.
Dalam salah satu lamannya tertulis
sebuah sloka, sloka dari Bhagawad Gita yang telah mengubah hidup saya hingga
hari ini. Sloka suci itu berkata, “Aku tidak pernah iri dan selalu
bersikap adil terhadap semua mahluk. Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan
tidak ada yang paling Aku kasihi. Tetapi yang berbakti kepada-Ku dia berada
pada –Ku dan Aku bersamanya pula. (Bhagavad Gita IX.29).
Seketika ada sensasi dingin menjalar
meresapi relung kalbu saya yang paling dalam. Inilah yang saya cari. Jawaban
dari semua pertanyaan tak terjawab yang nyaris membuat saya menjadi pecandu
obat tidur. Dia yang menyebut dirinya Aku di sini, Dia-lah yang saya yakini
membawa kebenaran kepada semua orang, semua mahluk diseluruh jagat. Dia adalah
segalanya. Dia telah mengajarkan kepada saya dan seluruh manusia tentang apa
itu kasih. Dia berhasil menjawab pertanyaan saya satu persatu. Dialah
Brahman, yang disebut dengan nama Ida Sanghyang Widhi Wasa, Krishna, Brahma,
Vishnu, Siva, dan sebagainya. Nama-nama yang merujuk pada Dia Yang
Tunggal. Ekam Sad Viprah Bhahuda Vadanti.Sungguh agung Ia dengan kemaha
kuasaan-Nya yang tak terbatas. Murni, hakiki, meliputi segalanya dan tidak
pernah memihak. Ia tidak mengajarkan jalan tunggal untuk memuja-Nya. Dan yang
paling penting, Ia mengakui Eksistensi aspek spiritual manusia yang secara
alami memang terhubung dengan-Nya, tanpa terkotak-kotak dalam frame yang
disebut agama. Dalam konteks ini saya menyebutnya Atma.
Renungan
yang mendorong saya murtad.
Teman, seperti inilah pertemuan saya
dengan Sanatana Dharma. Tidak ada wangsit dari si Mbah apalagi mimpi bertemu
Shri Krishna. Namun akan merubah hidup siapapun yang memahami ajaran-Nya.
Tidak ada agama yang sama, tapi rasa cinta kepada Tuhan itu milik semua orang.
Sanatana Dharma mengakui itu. Dan orang yang mencintai Tuhan, tidak akan
melakukan kekerasan terhadap semua manusia. Lihatlah para sufi, mereka
mengabaikan permusuhan terhadap orang kafir dan lebih menekankan cinta kasih.
Terakhir, menyikapi fenomena
konversi yang sering menimpa umat Hindu, saya ingin berpesan kepada Anda
yang mungkin saat ini mulai kehilangan keyakinan pada Sanatana Dharma dan
tengah menimbang untuk mencoba agama lain. Mungkin benar, Sanatana Dharma
begitu kompleks, membuat kita menjadi tidak cukup tahu mengenai agama kita
sendiri. Tapi, renungkanlah hal yang telah mendorong saya untuk murtad yang
telah saya bahas diawal catatan ini. Semua ajaran agama Ibrani mengandung
esensi yang sama. Sungguh, menurut saya, tidak ada seorang pun, yang telah
menerima pendidikan Islam, atau Kristen atau Yahudi, yang tidak memiliki rasa
eksklusif di hatinya, sedikit ataupun banyak.Seandainya saja Anda tahu
apa yang ada di luar sana, masihkah Anda berminat meninggalkan rumah Anda,
Sanatana Dharma ?
Salam hangat.
Om Santih Santih Santih Om.
(penulis saat ini tidak lagi tinggal
di Surabaya, melainkan di Mataram Lombok.)
Redaksi.
Luar biasa
!!!
Gentha, membaca tulisanmu, kami
kadang-kadang terharu mengikuti pergulatan batinmu untuk menemukan jalan yang
sesuai dengan akal dan hati nuranimu, kadang-kadang tersenyum karena humor yang
tajam tapi halus, kadang-kadang geleng-geleng kepala karena kagum akan
keberanian dan keterusteranganmu.
Tetapi pertanyaan-pertanyaan yang
anda ajukan betul-betul dalam dan mendasar. Memang seharusnya begitu kalau
orang mau mencari jalan yang benar : ajukan pertanyaan-pertanyaan
fundamental dan coba cari jawabannya sendiri. Pelajari kitab suci dan riwayat
hidup pendirinya secara obyektif dan kritis. Jangan hanya menelan apa yang
dikatakan para pengkotbah. Karena mereka hanya mengatakan yang baik-baik saja
dan menyembunyikan banyak hal buruk.
Hindu mengijinkan manusia untuk
mempertanyakan dirinya. Bukankah Upanisad dan Bhagavad Gita juga disusun dalam
bentuk dialog, Tanya jawab ? Bukan “Wahyu” berupa perintah-perintah yang tidak
boleh dipertanyakan, tetapi harus diterima begitu saja, terlepas masuk akal
atau tidak, adil atau tidak, mengajarkan kekerasan dan kebencian dan kosong
dari cinta dan welas asih. Yang menuntut ketaatan mutlak, disertai ancaman,
kutukan dan caci maki.
Di dalam Hindu tidak ada
perintah”janganlah kamu banyak bertanya, nanti kami kehilangan iman”. Dalam
Hindu berlaku sebaliknya, “makin banyak kamu bertanya, makin dekat kamu
kepada-Nya. Dan itu membebaskanmu”. Anda sampai ke jalan dharma bukan
karena wangsit si Mbah., tetapi melalui computer dan internet, teknologi yang
paling baru.
Pertanyaanmu yang terakhir sangat
berharga untuk direnungkan oleh seluruh generasi muda Hindu.
Gentha, kamu sampai di jalan Dharma
melalui proses yang luar biasa!!!! Sekali lagi Baravo.
Comments :
0 komentar to “catatan perjalanan genta apritaura”
Posting Komentar